SEJARAH DAN
PEMIKIRAN
ALIRAN MU’TAZILAH
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pengampu:
Neneng Afwah,
M. Fil.I
Penyusun :
Yazid Dwi Prio Utomo
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUNAN DRAJAT
( STAIDRA)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (
PAI )
KRANJI PACIRAN LAMONGAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Berbicara
perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi
perpecahan. Satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak
mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. Akhirnya
terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan
Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah
kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslim. Bahkan dalam kelompok
ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih
mendahulukan akal.
Oleh
karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati
saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok
mu'tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini
dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam
menghancurkan kekuatan kaum para muslimin-muslimat dan persatuannya.
Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran mu'tazilah, oleh karena itu perlu
dibahas asal pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari
Islam.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana asal usul
munculnya aliran mu’tazilah ?
2. Sebutkan lima ajaran dasar
mu’tazilah ?
C. Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui asal usul
munculnya aliran mu’tazilah.
2. Mampu menyebutkan
ajaran-ajaran dasar mu’tazilah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Asal Usul Kemunculan Aliran Mu’tazilah
a.
Pengertian
mu’tazilah
Secara
harfiah kata Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang berarti berpisah
atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.[1]
Sebutan Mu’tazilah mempunyai
suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri,
salah seorang imam di kalangan tabi’in. Asy-Syihristani berkata: (Suatu hari)
datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai
imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan
pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai
suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah
kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku
dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap
keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari
keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana
ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini.
Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya
sebagai prinsip (dalam beragama)?”
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir
sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan
lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan
seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan
di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan
duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya
tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri
berkata:
“ اِعْتَزَلَ
عَنَّا وَاصِلً” “Washil telah memisahkan diri dari kita”,
maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah.
Pertanyaan itu pun akhirnya
dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah:
“Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin
yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan
karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak
sempurna).[2]
b. Asal usul Kemunculan Kemunculan
Mu’tazilah
Sejarah
munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah
tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110
H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah
Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid
Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal,
kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa
besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri
berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan
paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya
golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah
semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot
mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah
Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh
manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil
dari Al-qur’an dan Al-sunnah).
Secara
harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau
memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis,
istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan. Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul
sebagai kaum netral politik,
khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin
abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin
Zubair. Golongan inilah yang mula-mula disebut kaum mu’tazilah karena mereka
menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat
netral politik tanpa stigma teologis seperti yang pada kaum mu’tazilah yang
tumbuh di kemudian hari.[3]
Golongan
kedua(selanjutnya disebut mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan
teologis yang berkembang di kalangan khawarij dan murji’ah akibat
adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat
dengan golongan khawarij dan murji’ah tentang pemberian status kafir kepada
orang yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan di kaji
dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi. Beberapa versi
tentang pemberian nama mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada
peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan
Hasan Al Basri di Basrah. Datanglah seseorang yang bertanya mengenai basri di
mesjid Basrah, datanglah seorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri
tentang orang yang berdosa besar. Ketika
Hasan Al Basri masih berfikir, wasil mengemukakan pendapatnya dengan
mengatakan. “ saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah
mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi di antara keduanya,
tidak mukmin dan tidak kafir.” kemudian Wasil menjuhkan diri dari Hasan Al
Basri dan pergi ke tempat lain di lingkingan masjid. Disana wasil mengulangi
pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan
berkata, “Wasil menjauhkan diri dari kita(i’tala anna). Menurut Asy- syahrastani, kelompok yang
memisahkan diri ini yang di sebut kaum Mu’tazilah.[4]
Versi
lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada
suatu hari masuk masjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang
disangkanya adalah majelis Hasan Al-Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut
bukan majelis Hasan Al-basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat
sambil berkata, “ini kaum mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan
Mu’tazilah.
B. Lima Ajaran Dasar Aliran
Mu’tazilah
Kelima ajaran dasar
Mu’tazilah yang tertuang dalam al-ushul al-khamsah adalah At Tauhid ( Ke-Esa-an
), Al ‘Adl (Keadilan ), Al Wa’d wa al Wa’id (Janji dan Ancaman), Manzilah Baina
Manzilatain (Posisi di antara dua tempat). Amar Ma’ruf , Nahi Munkar. (
Memerintahkan Kebaikan dan Melarang Keburukan ).
a. At
Tauhid ( Ke-Esa-an )
At Tauhid (pengesaan Tuhan)
merupakan prinsip utama dan intisari ajaranMu’tazilah. Sebenarnya setiap mazhab
teologis dalam Islam memang doktrin ini. Namun bagi mu’tazilah tauhid memiliki
arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat
mengurangi arti kemahaesaanya. Tuhan dalam paham Mu’tazilah betul-betul Esa dan
tidak ada sesuatu yang serupa denganNya. Oleh karena itu, hanya dialah yang
qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud
al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).[5] Ia
menolak paham anthromorpisme (paham yang menggambarkan Tuhannya serupa dengan
makhlukNya) dan juga menolak paham beatic vision (Tuhan dapat dilihat dengan
mata kepala) untuk menjaga kemurnian Kemaha esaan Tuhan, Mu’tazilah menolak
sifat-sifat Tuhan yang mempunyai wujud sendiri di luar Zat Tuhan. Hal ini tidak
berarti Tuhan tak diberi sifat, tetapi sifat-sifat itu tak terpisah dari
ZatNya.[6]
Mu’tazilah membagi sifat Tuhan
kepada dua golongan:
a) Sifat-sifat yang
merupakan esensi Tuhan, disebut sifat dzatiyah, seperti al Wujud - al Qadim –
al Hayy dan lain sebagainya
b) Sifat-sifat
yang merupakan perbuatan Tuhan, disebut juga dengan sifat fi’liyah yang
mengandung arti hubungan antara Tuhan dengan makhlukNya, seperti al Iradah –
Kalam – al Adl, dan lain-lain.
Kedua sifat tersebut tak terpisah
atau berada di luar Zat Tuhan, Tuhan Berkehendak, Maha Kuasa dan sifat-sifat
lainnya semuanya bersama dengan Zat. Jadi antara Zat dan sifat tidak terpisah.
Pandangan tersebut mengandung unsur teori yang dikemukakan oleh Aristoteles
bahwa penggerak pertama adalah akal, sekaligus subyek yang berpikir.
Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang
dapat menyamai Tuhan. Begitupula sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan
makhluknya. Tuhan adalah immateri, oleh karena itu tidak layak baginya setiap
atribut materi. Tegasnya Mu’tazilah menolak antropomirfisme.[7]
b. Al ‘Adl (Keadilan )
Paham keadilan dimaksudkan untuk
mensucikan Tuhan dari perbuatanNya. Hanya Tuhan lah yang berbuat adil, karena
Tuhan tidak akan berbuat zalim, bahkan semua perbuatan Tuhan adalah baik. Untuk
mengekspresikan kebaikan Tuhan, Mu’tazilah mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan
mendatangkan yang baik dan terbaik bagi manusia. Dari sini lah muncul paham al
Shalah wa al Aslah yakni paham Lutf atau rahmat Tuhan. Tuhan wajib mencurahkan
lutf bagi manusia, misalnya mengirim Nabi dan Rasul untuk membawa petunjuk bagi
manusia.
Keadilan Tuhan menuntut kebebasan
bagi manusia karena tidak ada artinya syari’ah dan pengutusan para Nabi dan
Rasul kepada yang tidak mempunyai kebebasan. Karena itu dalam pandangan
Mu’tazilah, manusia bebas menentukan perbuatannya.
c. Al Wa’d wa al Wa’id (Janji dan
Ancaman)
Ajaran ini merupakan kelanjutan
dari keadilan Tuhan, Tuhan tidak disebut adil jika ia tidak memberi pahala
kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat buruk, karena
itulah yang dijanjikan oleh Tuhan. QS. Al Zalzalah ayat 7-8.
Terjemahnya :“Barang siapa yang
berbuat kebajikan seberat biji zarrah, niscaya dia akan lihat balasannya, dan
barang siapa yang berbuat keburukan seberat biji zarrah, niscaya dia akan
melihat balasannya pula.”
Ajaran ini tidak member peluang bagi tuhan, selain menunaikan janjinya yaitu
member pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat , kecuali
orang yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, keculai
bila ia bertobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk
neraka adalah kejahatan yang termasuk dosa besar, sedangkan terhadap dosa
kecil, tuhan mungkin mengampuninya. Ajaran ini tampak bertujuan mendorong
manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.
d. Manzilah Baina
Manzilatain (Posisi di antara dua tempat )
Posisi menengah atau fasik dalam
ajaran Mu’tazilah di tempati oleh orang-orang Islam yang berbuat dosa besar.
Pembuat dosa besar bukan kafir karena masih percaya kepada Tuhan dan Nabi
Muhammad saw, tetapi tidak juga dapat dikatakan mukmin karena imannya tidak lagi
sempurna, maka inilah sebenarnya keadilan (menempatkan sesuatu pada tempatnya),
akan tetapi di akhirat hanya ada syurga dan neraka, maka tempat bagi
orang-orang yang berbuat dosa adalah di neraka, hanya saja tidak sama dengan
orang-orang kafir sebab Tuhan tidak adil jika siksaannya sama dengan orang
kafir. Jadi lebih ringan dari orang kafir.
e. Amar Ma’ruf , Nahi
Munkar. ( Memerintahkan Kebaikan dan Melarang Keburukan )
Perintah berbuat baik dan
mencegah kemungkaran adalah suatu kebajikan bagi semua umat Islam. Seruan amar
ma’ruf nahi munkar bisa dilakukan dengan hati, tetapi jika memungkinkan dapat
dilakukan dengan seruan bahkan dengan tangan dan pedang. Hal ini sesuai dengan
hadis Nabi yang artinya :
“Barang siapa yang melihat
kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangan, jika tidak mampu, maka
dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hati, itulah
serendah-rendahnya iman”.
Sejarah pemikiran Islam
menunjukkan betapa giatnya orang-orang Mu’tazilah mempertahankan Islam terhadap
kesesatan yang tersebar luas pada permulaan masa ‘Abbasia yang hendak
menghancurkan kebenaran-kebenaran Islam, bahkan mereka tidak segan-segan
menggunakan kekerasan dalam melakukan prinsip tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mu’tazilah adalah golongan yang memisahkan dan menjauhkan diri. Golongan
ini berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat mempunyai
wujud di luar zat tuhan.
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran
mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah,
tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin
Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik.
Mu'tazilah berkembang sebagai satu pemikiran yang ditegakkan diatas
pandangan bahwa akal adalah sumber kebenaran pada awal abad ke dua hijriyah
tepatnya tahun 105 atau 110 H di akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah di kota
bashroh di bawah pimpinan Waashil bin Atho' Al Ghozaal
Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-ushul al-khamsah
adalah At Tauhid ( Ke-Esa-an ), Al ‘Adl (Keadilan ), Al Wa’d wa al Wa’id (Janji
dan Ancaman), Manzilah Baina Manzilatain (Posisi di antara dua tempat). Amar
Ma’ruf , Nahi Munkar. ( Memerintahkan Kebaikan dan Melarang Keburukan).
B. Saran
Demikian persembahan makalah saya
yang sangat amat penuh dengan kekurangan, karena saya hanyalah manusia biasa yang tak pernah luput
dari salah dan lupa. Untuk itu, kritik dan saran dari yang membangun dari
teman-teman sangat kami harapkan,
demi perbaikan makalah-makalah saya
mendatang, terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Ramli abdul wahid, Ulumul Quran (jakarta:PT
RajaGrafindo, 2002), hal. 41
Kahar masyhur, pokok-pokok ulumu Al Quran(jakarta:PT
rineka cipta, 1992), hal.91-92
Mudzakir
AS, Manna’ Khalil al Qattan(bogor:Pustaka Litera AntarNusa,2013),
hal. 108
Liliek
channa, ulum alquran dan pembelajarannya(surabaya:kopertais iv press,
2010), hal 127
Halim, muhammad abdul, memahami al quran(bandung:marja,
2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar