Jumat, 16 Mei 2014

Sejarah Aliran Mu'tazilah

SEJARAH DAN PEMIKIRAN
 ALIRAN MU’TAZILAH
MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam
Dosen Pengampu:
Neneng Afwah, M. Fil.I


Penyusun :
Yazid Dwi Prio Utomo


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUNAN DRAJAT ( STAIDRA)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( PAI )
KRANJI PACIRAN LAMONGAN

2013


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan. Satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslim. Bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok mu'tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum para muslimin-muslimat dan persatuannya. Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran mu'tazilah, oleh karena itu perlu dibahas asal pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam.
B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana asal usul munculnya aliran mu’tazilah ?
2.      Sebutkan lima ajaran dasar mu’tazilah ?
C.  Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui asal usul munculnya aliran mu’tazilah.
2.      Mampu menyebutkan ajaran-ajaran dasar mu’tazilah.




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian dan Asal Usul Kemunculan Aliran Mu’tazilah
a.      Pengertian mu’tazilah
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau  menjauhkan diri.[1]
 Sebutan Mu’tazilah mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in. Asy-Syihristani berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?”
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata:
اِعْتَزَلَ عَنَّا وَاصِلً” “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah.
Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).[2]
b.      Asal usul Kemunculan Kemunculan Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al-qur’an dan Al-sunnah).
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan. Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Golongan inilah yang mula-mula disebut kaum mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang pada kaum mu’tazilah yang tumbuh di kemudian hari.[3]
Golongan kedua(selanjutnya disebut mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan khawarij dan murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan khawarij dan murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.  Mu’tazilah II inilah yang akan di kaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi. Beberapa versi tentang pemberian nama mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin Ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al Basri di Basrah. Datanglah seseorang yang bertanya mengenai basri di mesjid Basrah, datanglah seorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika  Hasan Al Basri masih berfikir, wasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan. “ saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi di antara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” kemudian Wasil menjuhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkingan masjid. Disana wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan berkata, “Wasil menjauhkan diri dari kita(i’tala anna).  Menurut Asy- syahrastani, kelompok yang memisahkan diri ini yang di sebut kaum Mu’tazilah.[4]
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk masjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al-Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al-basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.



B.  Lima Ajaran Dasar Aliran Mu’tazilah
Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-ushul al-khamsah adalah At Tauhid ( Ke-Esa-an ), Al ‘Adl (Keadilan ), Al Wa’d wa al Wa’id (Janji dan Ancaman), Manzilah Baina Manzilatain (Posisi di antara dua tempat). Amar Ma’ruf , Nahi Munkar. ( Memerintahkan Kebaikan dan Melarang Keburukan ).
a. At Tauhid ( Ke-Esa-an )
At Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaranMu’tazilah. Sebenarnya setiap mazhab teologis dalam Islam memang doktrin ini. Namun bagi mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaanya. Tuhan dalam paham Mu’tazilah betul-betul Esa dan tidak ada sesuatu yang serupa denganNya. Oleh karena itu, hanya dialah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).[5]  Ia menolak paham anthromorpisme (paham yang menggambarkan Tuhannya serupa dengan makhlukNya) dan juga menolak paham beatic vision (Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala) untuk menjaga kemurnian Kemaha esaan Tuhan, Mu’tazilah menolak sifat-sifat Tuhan yang mempunyai wujud sendiri di luar Zat Tuhan. Hal ini tidak berarti Tuhan tak diberi sifat, tetapi sifat-sifat itu tak terpisah dari ZatNya.[6]
Mu’tazilah membagi sifat Tuhan kepada dua golongan:
a)  Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan, disebut sifat dzatiyah, seperti al Wujud - al Qadim – al Hayy dan lain sebagainya
b)   Sifat-sifat yang merupakan perbuatan Tuhan, disebut juga dengan sifat fi’liyah yang mengandung arti hubungan antara Tuhan dengan makhlukNya, seperti al Iradah – Kalam – al Adl, dan lain-lain.
Kedua sifat tersebut tak terpisah atau berada di luar Zat Tuhan, Tuhan Berkehendak, Maha Kuasa dan sifat-sifat lainnya semuanya bersama dengan Zat. Jadi antara Zat dan sifat tidak terpisah. Pandangan tersebut mengandung unsur teori yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa  penggerak pertama adalah akal, sekaligus subyek yang berpikir. Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang dapat menyamai Tuhan. Begitupula sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan makhluknya. Tuhan adalah immateri, oleh karena itu tidak layak baginya setiap atribut materi. Tegasnya Mu’tazilah menolak antropomirfisme.[7]

b. Al ‘Adl (Keadilan )
Paham keadilan dimaksudkan untuk mensucikan Tuhan dari perbuatanNya. Hanya Tuhan lah yang berbuat adil, karena Tuhan tidak akan berbuat zalim, bahkan semua perbuatan Tuhan adalah baik. Untuk mengekspresikan kebaikan Tuhan, Mu’tazilah mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan mendatangkan yang baik dan terbaik bagi manusia. Dari sini lah muncul paham al Shalah wa al Aslah yakni paham Lutf atau rahmat Tuhan. Tuhan wajib mencurahkan lutf bagi manusia, misalnya mengirim Nabi dan Rasul untuk membawa petunjuk bagi manusia.
Keadilan Tuhan menuntut kebebasan bagi manusia karena tidak ada artinya syari’ah dan pengutusan para Nabi dan Rasul kepada yang tidak mempunyai kebebasan. Karena itu dalam pandangan Mu’tazilah, manusia bebas menentukan perbuatannya.

c. Al Wa’d wa al Wa’id (Janji dan Ancaman)
Ajaran ini merupakan kelanjutan dari keadilan Tuhan, Tuhan tidak disebut adil jika ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat buruk, karena itulah yang dijanjikan oleh Tuhan. QS. Al Zalzalah ayat 7-8.
Terjemahnya :“Barang siapa yang berbuat kebajikan seberat biji zarrah, niscaya dia akan lihat balasannya, dan barang siapa yang berbuat keburukan seberat biji zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya pula.”
           Ajaran ini tidak member peluang bagi tuhan, selain menunaikan janjinya yaitu member pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat , kecuali orang yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, keculai bila ia bertobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka adalah kejahatan yang termasuk dosa besar, sedangkan terhadap dosa kecil, tuhan mungkin mengampuninya. Ajaran ini tampak bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.


d. Manzilah Baina Manzilatain (Posisi di antara dua tempat )
Posisi menengah atau fasik dalam ajaran Mu’tazilah di tempati oleh orang-orang Islam yang berbuat dosa besar. Pembuat dosa besar bukan kafir karena masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad saw, tetapi tidak juga dapat dikatakan mukmin karena imannya tidak lagi sempurna, maka inilah sebenarnya keadilan (menempatkan sesuatu pada tempatnya), akan tetapi di akhirat hanya ada syurga dan neraka, maka tempat bagi orang-orang yang berbuat dosa adalah di neraka, hanya saja tidak sama dengan orang-orang kafir sebab Tuhan tidak adil jika siksaannya sama dengan orang kafir. Jadi lebih ringan dari orang kafir.

e. Amar Ma’ruf , Nahi Munkar. ( Memerintahkan Kebaikan dan Melarang Keburukan )
Perintah berbuat baik dan mencegah kemungkaran adalah suatu kebajikan bagi semua umat Islam. Seruan amar ma’ruf nahi munkar bisa dilakukan dengan hati, tetapi jika memungkinkan dapat dilakukan dengan seruan bahkan dengan tangan dan pedang. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi yang artinya :
“Barang siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangan, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hati, itulah serendah-rendahnya iman”.
Sejarah pemikiran Islam menunjukkan betapa giatnya orang-orang Mu’tazilah mempertahankan Islam terhadap kesesatan yang tersebar luas pada permulaan masa ‘Abbasia yang hendak menghancurkan kebenaran-kebenaran Islam, bahkan mereka tidak segan-segan menggunakan kekerasan dalam melakukan prinsip tersebut.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Mu’tazilah adalah golongan yang memisahkan dan menjauhkan diri. Golongan ini berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat mempunyai wujud  di luar zat tuhan.
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik.
Mu'tazilah berkembang sebagai satu pemikiran yang ditegakkan diatas pandangan bahwa akal adalah sumber kebenaran pada awal abad ke dua hijriyah tepatnya tahun 105 atau 110 H di akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah di kota bashroh di bawah pimpinan Waashil bin Atho' Al Ghozaal
Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-ushul al-khamsah adalah At Tauhid ( Ke-Esa-an ), Al ‘Adl (Keadilan ), Al Wa’d wa al Wa’id (Janji dan Ancaman), Manzilah Baina Manzilatain (Posisi di antara dua tempat). Amar Ma’ruf , Nahi Munkar. ( Memerintahkan Kebaikan dan Melarang Keburukan).

B.     Saran
Demikian persembahan makalah saya yang sangat amat penuh dengan kekurangan, karena saya hanyalah manusia biasa yang tak pernah luput dari salah dan lupa. Untuk itu, kritik dan saran dari yang membangun dari teman-teman sangat kami harapkan, demi perbaikan makalah-makalah saya mendatang, terima kasih.





DAFTAR PUSTAKA

Ramli abdul wahid, Ulumul Quran (jakarta:PT RajaGrafindo, 2002), hal. 41
Kahar masyhur, pokok-pokok ulumu Al Quran(jakarta:PT rineka cipta, 1992), hal.91-92
Mudzakir AS, Manna’ Khalil al Qattan(bogor:Pustaka Litera AntarNusa,2013), hal. 108
Liliek channa, ulum alquran dan pembelajarannya(surabaya:kopertais iv press, 2010), hal 127
Halim, muhammad abdul, memahami al quran(bandung:marja, 2002)




[1] Abdur razak, rosihon anwar, ilmu kalam (Bandung:CV pustaka setia,2006) hal. 77.
[2] Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, (Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah,tk, tt), hal.42.
[3] Abdur razak, rosihon anwar, ilmu kalam Opcit.

[4] Ibid.
[5] Abdur razak, rosihon anwar, ilmu kalam Opcit. Hal. 80
[6] Abd Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh Al-ushul Al-Khamsah.( Maktab Wahbah: Kairo 1965), hlm.196
[7] Abdur razak, rosihon anwar, ilmu kalam Opcit. Hal. 81

Tidak ada komentar:

Posting Komentar